Dulu, disaat
waktu kita kecil, orang tua selalu mengajarkan kita agar selalu jujur. Memang
itu suatu pesan atau kata-kata yang sederhana untuk kita, tetapi itu merupakan
kalimat yang memiliki makna yang sangat luar biasa. Sikap jujur merupakan kunci
untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan tanpa adanya sikap jujur, seberapa banyak
kebahagian yang kita miliki akan sia-sia. Seperti contoh cerita seorang tokoh ulama
besar (Imam Syafi’i) yang begitu terkenal dalam kejujurannya.
Ceritanya
begini......
Pada suatu hari Ia
sedang beristirahat dipinggir sungai, karna lelahnya Ia mengembara untuk
mencari ilmu. Selain itu Ia bukan hanya kelelahan, tetapi Ia juga sangat lapar
dari sejak pagi Ia tidak memakan apapun. Pada waktu itu Ia melihat buah apel
yang hanyut disungai, dan Ia segera mengambil buah apel itu lalu memakannya
sampai habis.
Setelah buah apel
tersebut dimakan sampai habis, Ia sadar dan merasa berdosa karna telah memakan
makanan yang buka haknya. Didalam benaknya Ia bertanya bahwa buah apel itu
pasti ada yang memilikinya, serta Ia merasa harus untuk meminta izin kepada
pemiliknya sebelum memakan buah apel tersebut. Ia memang sangat berhati-hati
dalam barang yang halal haram serta barang subhat. Bagai manapun, Ia merasa
barang yang Ia makan tadi akan mempengaruhi perilakunya. Dan Ia sangat menyesal
karna telah memakan buah apel itu, serta Ia pergi untuk mencari tahu bahwa
siapa pemilik buah apel tersebut, untuk meminta izin dan minta keikhlasan
kepada pemilik buah apel itu karna telah Ia makan tanpa seizin pemiliknya.
Dengan tanpa pikir panjang Ia pun bersegera untuk mencari tahu tentang pohon buah
apel tersebut dengan menyusuri sepanjang pinggir sungai.
Setelah Ia
menemukan pohon yang Ia perkirakan bahwa buah apel yang Ia makan itu dari pohon
yang Ia temukan dipinggir sungai, Ia begitu gembira dan senang karna Ia merasa
pasti bisa untuk menemukan sang pemiliknya dengan menanyakan kepada penduduk sekitar.
Begitu sang pemilik buah apel tersebut Ia temukan, Ia pun bersegra mendatangi
pemilik apel itu dengan setulus untuk meminta izin dan keikhlasannya tentang buah
apel yang Ia makan.
Pemilik buah apel
lalu mau mengikhlaskan tentang apel yang Ia makan dengan sebuah syarat, bahwa
bila Ia ingin diberikan keikhlasan tentang buah apel yang Ia makan tanpa seizin
pemiliknya, maka Ia harus menuruti permintaan sang pemilik bauh apel tersebut,
untuk menjadikannya pembantu pribadinya tanpa bayaran. Ia pun menyutujui syarat
sang pemilik buah apel itu.
Setelah itu Ia
pun melakukan tugasnya dengan sebuha keikhlasan, kejujuran, tulus, rendah hati,
taat dalam ibadah serta Ia pun sangat pintar. Sang pemilik buah pun sangat
terkesan dengan sikap dan prilakunya selama Ia menjalankan tugasnya.
Begitu Ia merasa
sudah selesai dalam menjalani tugasnya selama bertahun-tahun, ia pun bertanya kepada
sang pemilik buah apel tersebut bahwa Ia sudah melakukan segala tugas yang
diberikan oleh pemilik apel.
Pertanyaannya pun langsung dijawab bahwa Ia bila ingin benar-benar
diberi keikhlasan tentang buah apel yang pernah Ia makan, Ia harus menikahi
putrinya yang tuli, buta, lumpuh, bisu, dan buruk rupa. Dengan kagetnya Ia
menjawab dengan baik dan menundukan kepalanya. Sebenarnya putri yang dari
pemilik buah apel itu bagitu indah, atau yang dimaksud tuli (telinganya tidak
pernah mendengarkan suara-suara yang buruk terkecuali yang baik), buta (matanya
tidak dipergunakan untuk melihat sesuatu yang maksiat), lumpuh (dikarnakan
rajin beribadah), bisu (mulutnya tidak dipergunakan untuk membicarakan sesuatu
yang tidak baik), dan buruk rupa (bahwa putrinya itu begitu sangat cantikdan
tidak pernah memamerkan kepada orang lain).
Setelah Ia
menikah dengan putri pemilik apel tersebut, sang pemilik apel kemudian
menunjukan kamar putrinya yang sudah syah menjadi istri. Lalu Ia memberanikan
diri pergi kekamar tersebut dan masuk ke
kamar istrinya yang ditunjukan olah sang pemilik apel. Ternyata didalam kamar
tersebut ada wanita cantik dan tidak sesuai dengan apa yang diceritakan oleh
sang pemilik buah apel itu. Ia merasa kaget dan keluar dari kamar serta
langsung menghadap sang mertua, dan menceritakan tentang wanita yang Ia temui
tadi serta beranya bahwa mertuanya salah atau keliru menunjukan kamar istrinya.
Sang mertua pun menjawab dengan tegas serta tersenyum menjelaskan apa yang dimaksud
sang mertua tuli, buta, lumpuh, bisu, dan buruk rupa. Mendengar jawaban dan
penjelasan sang mertua maksud, Ia langsung berterimakasih kepada sang mertua
serta bersujud dengan bersyukur atas karunia yang Allah SWT berikan dengan
usahanya dalam mencari tahu sang pemilik apel dan menjalan syarat dengan baik
dan ikhlas.
Begitulah cerita
Imam syafi’i yang dikenal kejujurannya dan menjadi modal utama dalam menjalani
kehidupannya. Kejujurannya merupakan segala suatu amal perbuatan yang baik.
Oleh karna itu, kejujuran merupakan kunci dari suatu kehidupan untuk menuju suatu
kebahagiaan,dan merupakan suatu perbuatan untuk meraih surga Allah SWT. Surga
merupakan tempat kebahagiaan yang tak terkira. Didunia pun kebahagiaan yang
bisa kita rasakan selama ini, baik secara materi maupun immaterial. Kenikmatan
jasmani rohani pun pasti bisa kita rasakan dengan cara yang baik dan halal.
Begitulah sang
Imam syafi’i, Ia telah mendapatkan ganjarannya karna kejujurannya. Tetapi yang
pati, kalian harus ingat bahwa bila melakukan kejujuran jangan mengharapkan
sesuatu seperti tadi istri cantik atau pun imbalan, melainkan melakukan dengan
ikhlas dan merasa harus didalam hati kita.
Sekian dan terimakasih.........!
0 Comments:
Post a Comment
{Ayo tulis bila ada masukan serta pertanyaan di bawah ini }